Sepotong Perjalanan Seorang Janda
>> Senin, 04 Mei 2009
“Aku ingin melamarmu!” hahahahaha serentak tawa cekikikan memenuhi warung kecilku di sebelah rumah. Kontan aku tak kalah terperangah mendengar pernyataan seorang pemuda yang masih bau kencur. Bahkan beberapa orang sampai tersedak mendengarnya. Emak malah tak kalah kaget, hingga ia menjatuhkan sepiring soto untuk pelanggan. Bagaimana tidak pernyataannya tidak membuat semua orang yang disini membuat kaget plus bahan lelucon. Ia melamar di tengah orang-orang yang sedang menyantap jualanku, pada aku Minah. Yang semua orang ketahui aku adalah janda beranak dua yang usianya kini kepala tiga, sedangkan dia seorang pemuda yang belum menyelesaikan studinya di kota. yah sekitar 22 tahun. Tak terbayang bagaimana kagetnya orang kampung. Hanya sejenak aku terpengaruh oleh kata-katanya, selanjutnya kata-katanya kucampur menjadi bumbu sotoku. “Aku serius, dan aku tak akan pergi dari sini sebelum kamu menjawab ia.” Ngotot banget sih anak ini, pikirku. Tak ayal aku juga kesal dibuatnya, tapi bukan Minah namanya jika aku menyerah pada anak kemaren sore itu. Aku merasa tak terusik dengan ancamannya. Anggap saja ia adalah laki-laki kesekian yang tak kapok-kapoknya mengejarku. Tapi heran juga, karena ini bukan pertama kalinya ia melakukan hal gila. Hingga beberapa lama ia masih berdiam di depan warungku. Emak tak tega membiarkannya lama berdiri mematung, dengan pelan emak membujukku agar menemuinya. Meski dengan berat akhirnya aku melangkah juga.
“Apapun yang kamu lakukan takkan pernah bisa mengubah keputusanku. Pergilah sebelum semua orang kampung menertawakanmu dan mengataimu gila.”
“Persetan dengan semua orang kampung. Aku tak kan beranjak sebelum kamu menjawab ia.” Benar-benar keras kepala ini anak.
“Baiklah, kalau menurutmu itu yang terbaik. Tapi yang aku tahu, orang yang mencintaiku tak akan pernah melakukan sesuatu yang akan mempermalukanku.” Ia menatapku tajam.
“Kamu pemuda berpendidikan, tak mungkin melakukan hal-hal konyol seperti ini.”
Akhirnya dia beranjak. Tapi aku yakin dia pergi bukan karena menyerah melainkan karena ia telah menemukan ide bagaimana mendekatiku dengan cara yang lebih baik. Tapi apa peduliku, yang jelas sampai kapanpun keputusanku tak akan pernah berubah.
Ah, hari ini badanku letih sekali. Seharian menjaga warung apalagi tadi pembeli banyak sekali. Dan sepulang dari warung kedua anakku minta dimandikan dan disuapin olehku. Tapi penat hati dan pikiranku lebih tersita atas kelakuan Jimmy, laki-laki kota yang sedang KKN di daerah sekitar sini. Sebenarnya Jimmy awalnya adalah penduduk desa ini tapi karena sejak 15 tahun yang lalu keluarga besarnya pindah ke kota, jadi otomatis ia telah jadi penduduk kota. Awalnya aku sangat terkesan pada pemuda yang baik dan sopan sepertinya, tapi lama kelamaan ia membuatku kesal saat sebulan yang lalu ia melamarku. Awalnya aku hanya menganggapnya lelucon. Dia pemuda berpendidikan, terhormat, jejaka tiba-tiba ingin melamar seorang janda beranak dua, tamatan SMP, dan penjual soto. Ah, sinting kali tuh anak, atau mungkin ingin mengetes bahwa orang-orang desa mudah tergiur dengan cowok perlente dari kota. Tapi kenapa harus aku? Walaupun wajahku yang tidak terlalu jelek, tapi aku kan janda? Gadis-gadis desa tak kalah cantik bahkan lebih kinclong. Dan akupun terlelap dengan sejuta tanya atas sikap Jimmy.
Kejadian kemarin ternyata tak berlalu begitu saja. Kabar telah tersebar ke seantero kampung, bahkan daerah pelosok. Tak sedikit orang yang menyindirku saat berbelanja tadi pagi ke pasar, mencibir, meludah bahkan beberapa gadis yang berpapasan denganku mengataiku main dukun. Astaghfirullah…..Tak heran karena tak sedikit anak gadis yang menyukainya, begitu pula para orang tua yang ingin mengambilnya jadi menantu tak kalah serunya berkomentar. Emak hanya mampu mengelus dada. Awalnya aku tak terusik dengan semua itu, walaupun sebenarnya panas juga telingku mendengar komentar miring. Kalau tidak Ira anak sulungku tak menangis sepulang sekolah. Saat kutanya ia hanya menjawab, “Semua teman-teman sekolah bilang kalau ibu genit, suka godain laki-laki apalagi Om Jimmy.” Ya Allah, tak sanggup lagi aku bertahan, dan semua ini gara-gara Jimmy. Andai ia tak melakukan perbuatan konyol kemarin, paling tidak anakku tak akan merasakan pedihnya. Tapi apa yang bisa kuperbuat lagi. Sejak aku bercerai dengan Handoko hidupku tak pernah lepas dari gunjingan dan cemoohan, apalagi kaum ibu yang merasa takut kehilangan suaminya.
“Ternyata kamu Doyan juga sama daun muda ya?” Hayati dan Handoko kini telah berada di dekatku. Pedih rasanya hatiku menyaksikan mantan suamiku diam ketika istri barunya mengataiku.
“Tutup mulutmu.”
“Hei, Minah berani kamu membentakku. Wanita seperti kamu memang tak seharusnya berada disini. Memalukan, cuih!”
“Aku tak butuh komentarmu, sebaiknya enyahlah kamu dari sini sebelum kamu tahu seperti apa aku yang sebenarnya.”
“Minah, kau tak berhak mengusir kami.” Ucap Handoko berang
“Berani benar kamu mengusirku? Dasar Wanita miskin.” Orang-orang yang tak sengaja lewat, bahkan yang sedang di rumah kontan kaget menyaksikan Suara Hayati yang lantang. Tak kupedulikan ocehannya karena tak asing lagi kalau Hayati menemuiku hanya untuk membuat onar. Dan jika aku meladeninya akan membuat Iblis yang bersarang di tubuhnya bersorak. Aku membawa Ira, Emak yang sedang menggendong Yanti masuk rumah.
“Hai, dengarkan orang-orang yang ada disini, lihatlah si Minah yang miskin akhirnya beraksi juga. Wanita seperti dia tak akan cukup menghidupi kedua anak dan Ibunya hanya dengan berjualan soto, yah kecuali dengan sedikit bumbu dan lenggokan sedikit. Harusnya pelacur tak berada di desa tenang seperti ini, agar kita tak perlu takut kehilangan suami………” Plak, plak, plak. Semua orang membisu. Handoko menatapku garang.
“Aku memang perempuan miskin tapi tak ada niat sedikitpun untuk menafkahi keluargaku dengan uang kotor. Dan yang pasti aku tak pernah terbukti merampas suami orang lain, dan pelacur hanya pantas dikatakan pada perempuan yang telah merampas suamiku.” Sampai disini kata-kataku tercekat, seumur hidup tak pernah aku mengatai orang sebegitu pedihnya, tapi apa yang kukatakan memang harus terucap karena pada kenyataannya memang dialah yang telah mengambil suamiku. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi karena semua itu memang benar. Handoko memang pengecut, walau amarah telah menguasai ubun-ubunnya tapi ia tak berkutik karena apa yang aku katakan benar. “Semua orang kukira tidaklah buta untuk melihat, sebenarnya aku yang merampas suamimu atau kamu yang telah membutakan Handoko dengan Uangmu!” Sebuah tamparan hendak mendarat, dan tanpa kusadari seseorang telah berhasil menangkisnya. Jimmy.
“Oh, ternyata benar apa kata Hayati si Daun Muda ini memang pantas untuk membuatmu rapuh.”
“Apa sudah hilang akal sehatmu untuk tidak berlaku kasar dan sedikit berpikir bahwa, memang andalah yang telah dibutakan oleh harta? Dan hanya karena wanita yang hanya pandai mencemooh ini anda meninggalkan tanggung jawab sebagai seorang suami dan ayah? Dan saya kira jika anda berdua tak berhak menginjakkan kaki di atas tanah orang-orang yang kalian aniaya. Jika saraf malu kalian masih normal saya yakin saat ini juga anda tak berada disini, tapi itupun kalau sarafnya masih nyambung.” Sampai disitu Handoko dan Hayati melangkah dengan menyisakan amarah yang dalam.
“Semua ini karena kamu, jika kamu sendiri merasa sebagai laki-laki normal, menjauhlah dariku, dan sampai kapanpun kita tak akan pernah bersatu.” Tak mampu kupendam perih ini. Tuhan, sampai kapan aku harus bertahan? Sayup aku dengar teriakan Jimmy di luar sana.
“Sampai kapanpun aku akan berjuang untuk mendapatkanmu. Dan dengarkanlah sumpahku warga desa. Aku tak akan pernah meninggalkan kota ini sebelum memperistri Minah.”
Beberapa hari ini aku tidak keluar rumah. Aku hanya mengerjakan sesuatu apa yang bisa aku lakukan di rumah. Karena aku masih segan untuk kembali mendengar komentar para tetangga setelah peristiwa kemarin. Apalagi aku tak ingin melihat Jimmy. Kesadaranku teruji, benarkah Jimmy menyukaiku sebagamana layaknya laki-laki dan perempuan? Apa dia tak melihat perbedaan usia diantara kami dan penampilanku yang tak layak disebut gadis lagi? Apakah benar cinta itu memang gila? Seperti diriku yang dulu harus menentang Emak saat menolak Handoko menikahiku! Atau juga seperti Handoko yang telah bosan hidup susah dan terlalu cinta pada harta sehingga ia meninggalkanku? Aku memang perempuan desa. Miskin, dan tak berpendidikan tinggi sehingga aku tak mengetahui apa yang sebenarnya jadi tujuan kenekatan Jimmy mengejarku. Sejak cintaku di hianati, hatiku masih terlampau jenuh untuk menerima kehadiran laki-laki lain. Aku sanggup memberikan kasih sayang, perhatian, dan cintaku untuk kedua anakku meski dalam hidup serba pas-pasan. Dan aku yakin mereka masih trauma kehilangan orang yang di sayangi.
Jimmy tak surut langkah untuk tetap nekat mengejarku dengan berbagai cara, meski seringkali itu hanya membuahkan kemarahan dariku. Bahkan hingga masanya ia harus kembali ke kota, tugasnya disini telah selesai. Akhirnya aku bisa bernafas, karena selain gangguan dari Jimmy tak ada lagi, Hayati dan Handoko tak berani mengusikku. Akupun menjalani kehidupanku seperti dulu, meski tetap saja masih ada yang suka mengusik kesendirianku, tapi toh itu tak terlalu mengusikku. Justru yang terusik malah Emak.
“ Nduk, kami ndak merasa kesepian to ngurus anak-anakmu sendiri?” Ucap Emak saat aku sedang memberesi dagangan di warung yang kebetulan pembeli telah sepi.
“Kan ada Emak yang akan selalu membantuku merawat cucu-cucu Emak.”
“ Tapi kan Emak tak bisa menemanimu selamanya, nduk. Suatu saat Emak juga akan pergi.” Aku menghentikan aktivitasku sejenak. Tumben Emak bicara serius tentang masa depanku.
“Semua orang tak akan abadi. Dan kita tak pernah tahu kapan tiba saatnya, dan tak ada yang mengetahui secara pasti siapa yang akan dipanggil terlebih dahulu. Dan insya Allah, aku masih sanggup merawat anak-anakku sendiri, apalagi anak-anak tak pernah mengingat ayahnya. Jika aku sanggup melakukannya sendiri kenapa aku harus minta bantuan orang lain?”
“Tapi, anak-anakmu tetaplah butuh kasih sayang dari seorang ayah!”
“Dulu Emak merawatku sendiri tanpa ayah, tapi aku tak merasakan kekurangan kasih sayang.”
“Dulu, ayahmu pergi memang karena dipanggil, dan karena kamu memang sangat menyayangi ayahmu sehingga kamu merasa ayahmu selalu berada didekatmu.”
“Emak kan tahu sendiri, Handoko sekarang sudah punya keluarga?”
“Tapi kamu kan bisa mencari pengggantinya?”
“Maksud Emak?”
“Emak pikir nak Jimmy cukup baik untukmu, dia juga sayang pada anak-anakmu. Dan…”
“Mak, Jimmy masih terlalu muda untuk mengarungi hidup bersamaku.”
“Apa karena usianya saja dia tak berhak mendampingimu?”
“Mak, sudahlah tak perlu membahas tentang sesuatu yang tidak ada. Aku masih sanggup mengurus anakku sendiri.”
“ Tapi Nduk…!”
“Cukup Mak, kita tak perlu membahas tentang ini lagi.” Dengan sedikit emosi aku mengakhiri perbincangan di warung. Orangnya sudah pergi kenapa harus diharapkan lagi. Ops, apa seandainya dia ada disini aku mengharapkannya? Ah, tidak mungkin. Walaupun sebenarnya aku menyukainya, tapi terlalu banyak perbedaan diantara kami. Apalagi kini orangnya sudah tak ada. Jadi untuk apa aku memikirkannya lagi. Tapi apa maksud dari rentetan pertanyaan Emak yang ngotot.
Sore itu saat aku baru pulang dari warung kulihat seseorang di beranda rumah. Handoko? Ada kepentingan apa lagi dia datang ke rumahku? apa dia belum puas dengan semua yang telah dia lakukan padaku.
“Minah, maafkan aku! Aku salah, telah menyia-nyiakanmu dan kedua anak kita, maafkan atas segala kekhilafanku Min?”
“Aku sudah lama memaafkanmu, percuma menyimpan dendam karena tak akan pernah mengembalikan semuanya. Sekarang pulanglah! Aku tak mau terjadi kesalah pahaman lagi diantara kita.”
“Aku sudah meninggalkan Hayati, dan aku ingin kita merajut kembali masa depan kita berdua…”
“Kamu pikir aku wanita apa? Setelah kamu tinggalkan masa paling buruk dalam kehidupanku kamu ingin kembali? Lalu bagaimana dengan Hayati dan anakmu? Ternyata kamu memang laki-laki pengecut yang hanya ingin meraih keuntungan di atas penderitaan orang lain. Aku memaafkanmu bukan berarti aku menerimamu kembali. Sekarang juga aku ingin kamu pergi dari rumahku.”
“Tapi, Min……..”
“Aku mau kamu pergi………”
Tak ada alasan bagiku menerima kehadirannya kembali, aku tak ingin kejadian seperti dulu terulang kembali baik itu padaku ataupun orang lain. Cukuplah aku yang merasakan betapa sakitnya hati ditinggalkan oleh orang yang kita cintai.
“Apa karena pemuda ini kamu menolakku?” Aku terkejut saat menyadari bahwa saat ini Handoko telah bersama Jimmy. Sejak kapan dia disini?
“Tidak hanya karena nak Jimmy, tapi juga Emak yang tak pernah ikhlas anaknya dipermainkan, juga kedua anakmu yang merasa telah damai tanpa kehadiran ayahnya”. Tiba-tiba Emak telah juga hadir bersama kedua anakku.
Beberapa bulan sejak kemudian.
Aku sedang menemui tamuku, tamu spesial. Aku tahu kedatangannya akan membuat kehebohan tersendiri di kampungku. Aku tak peduli karena saat ini dia datang bukan sebagai orang yang mengejarku lagi. Dia datang dengan menyelipkan undangan untukku. Awalnya aku melihat kekecewaan terpancar di wajah Emak. Yah, karena dia memang sangat mengharapkan Jimmy menjadi menantunya. Tapi, aku terlampau bahagia, karena tak akan ada orang yang akan mengganggu hari-hariku dengan berbagai aksinya. Akhirnya aku bisa kembali tenang, walaupun tetap aja masih ada orang yang menggangguku. Dan aku yakin bisa menghadapinya.
Tapi aku masih penasaran. Besok kabar apalagi yang akan tersebar terkait dengan kedatangannya …..Dan aku cukup menunjukkan sebuah undangan pernikahan, Jimmy.
Surabaya, 12/10/2008
(*Noviana Herliyanti, lahir di Batang-batang Sumenep Madura. Alumnus PP. Annuqayah Guluk-guluk Sumenep, saat ini aktif sebagai Anggota Forum Komunikasi Penulis & Penerbit Pesantren (FKP3) Jawa Timur. Beberapa tulisan cerpen dan puisinya telah dimuat di harian Duta Masyarakat, Radar Surabaya, dan Radar Madura.
read more “Sepotong Perjalanan Seorang Janda”
Read more...
“Apapun yang kamu lakukan takkan pernah bisa mengubah keputusanku. Pergilah sebelum semua orang kampung menertawakanmu dan mengataimu gila.”
“Persetan dengan semua orang kampung. Aku tak kan beranjak sebelum kamu menjawab ia.” Benar-benar keras kepala ini anak.
“Baiklah, kalau menurutmu itu yang terbaik. Tapi yang aku tahu, orang yang mencintaiku tak akan pernah melakukan sesuatu yang akan mempermalukanku.” Ia menatapku tajam.
“Kamu pemuda berpendidikan, tak mungkin melakukan hal-hal konyol seperti ini.”
Akhirnya dia beranjak. Tapi aku yakin dia pergi bukan karena menyerah melainkan karena ia telah menemukan ide bagaimana mendekatiku dengan cara yang lebih baik. Tapi apa peduliku, yang jelas sampai kapanpun keputusanku tak akan pernah berubah.
Ah, hari ini badanku letih sekali. Seharian menjaga warung apalagi tadi pembeli banyak sekali. Dan sepulang dari warung kedua anakku minta dimandikan dan disuapin olehku. Tapi penat hati dan pikiranku lebih tersita atas kelakuan Jimmy, laki-laki kota yang sedang KKN di daerah sekitar sini. Sebenarnya Jimmy awalnya adalah penduduk desa ini tapi karena sejak 15 tahun yang lalu keluarga besarnya pindah ke kota, jadi otomatis ia telah jadi penduduk kota. Awalnya aku sangat terkesan pada pemuda yang baik dan sopan sepertinya, tapi lama kelamaan ia membuatku kesal saat sebulan yang lalu ia melamarku. Awalnya aku hanya menganggapnya lelucon. Dia pemuda berpendidikan, terhormat, jejaka tiba-tiba ingin melamar seorang janda beranak dua, tamatan SMP, dan penjual soto. Ah, sinting kali tuh anak, atau mungkin ingin mengetes bahwa orang-orang desa mudah tergiur dengan cowok perlente dari kota. Tapi kenapa harus aku? Walaupun wajahku yang tidak terlalu jelek, tapi aku kan janda? Gadis-gadis desa tak kalah cantik bahkan lebih kinclong. Dan akupun terlelap dengan sejuta tanya atas sikap Jimmy.
Kejadian kemarin ternyata tak berlalu begitu saja. Kabar telah tersebar ke seantero kampung, bahkan daerah pelosok. Tak sedikit orang yang menyindirku saat berbelanja tadi pagi ke pasar, mencibir, meludah bahkan beberapa gadis yang berpapasan denganku mengataiku main dukun. Astaghfirullah…..Tak heran karena tak sedikit anak gadis yang menyukainya, begitu pula para orang tua yang ingin mengambilnya jadi menantu tak kalah serunya berkomentar. Emak hanya mampu mengelus dada. Awalnya aku tak terusik dengan semua itu, walaupun sebenarnya panas juga telingku mendengar komentar miring. Kalau tidak Ira anak sulungku tak menangis sepulang sekolah. Saat kutanya ia hanya menjawab, “Semua teman-teman sekolah bilang kalau ibu genit, suka godain laki-laki apalagi Om Jimmy.” Ya Allah, tak sanggup lagi aku bertahan, dan semua ini gara-gara Jimmy. Andai ia tak melakukan perbuatan konyol kemarin, paling tidak anakku tak akan merasakan pedihnya. Tapi apa yang bisa kuperbuat lagi. Sejak aku bercerai dengan Handoko hidupku tak pernah lepas dari gunjingan dan cemoohan, apalagi kaum ibu yang merasa takut kehilangan suaminya.
“Ternyata kamu Doyan juga sama daun muda ya?” Hayati dan Handoko kini telah berada di dekatku. Pedih rasanya hatiku menyaksikan mantan suamiku diam ketika istri barunya mengataiku.
“Tutup mulutmu.”
“Hei, Minah berani kamu membentakku. Wanita seperti kamu memang tak seharusnya berada disini. Memalukan, cuih!”
“Aku tak butuh komentarmu, sebaiknya enyahlah kamu dari sini sebelum kamu tahu seperti apa aku yang sebenarnya.”
“Minah, kau tak berhak mengusir kami.” Ucap Handoko berang
“Berani benar kamu mengusirku? Dasar Wanita miskin.” Orang-orang yang tak sengaja lewat, bahkan yang sedang di rumah kontan kaget menyaksikan Suara Hayati yang lantang. Tak kupedulikan ocehannya karena tak asing lagi kalau Hayati menemuiku hanya untuk membuat onar. Dan jika aku meladeninya akan membuat Iblis yang bersarang di tubuhnya bersorak. Aku membawa Ira, Emak yang sedang menggendong Yanti masuk rumah.
“Hai, dengarkan orang-orang yang ada disini, lihatlah si Minah yang miskin akhirnya beraksi juga. Wanita seperti dia tak akan cukup menghidupi kedua anak dan Ibunya hanya dengan berjualan soto, yah kecuali dengan sedikit bumbu dan lenggokan sedikit. Harusnya pelacur tak berada di desa tenang seperti ini, agar kita tak perlu takut kehilangan suami………” Plak, plak, plak. Semua orang membisu. Handoko menatapku garang.
“Aku memang perempuan miskin tapi tak ada niat sedikitpun untuk menafkahi keluargaku dengan uang kotor. Dan yang pasti aku tak pernah terbukti merampas suami orang lain, dan pelacur hanya pantas dikatakan pada perempuan yang telah merampas suamiku.” Sampai disini kata-kataku tercekat, seumur hidup tak pernah aku mengatai orang sebegitu pedihnya, tapi apa yang kukatakan memang harus terucap karena pada kenyataannya memang dialah yang telah mengambil suamiku. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi karena semua itu memang benar. Handoko memang pengecut, walau amarah telah menguasai ubun-ubunnya tapi ia tak berkutik karena apa yang aku katakan benar. “Semua orang kukira tidaklah buta untuk melihat, sebenarnya aku yang merampas suamimu atau kamu yang telah membutakan Handoko dengan Uangmu!” Sebuah tamparan hendak mendarat, dan tanpa kusadari seseorang telah berhasil menangkisnya. Jimmy.
“Oh, ternyata benar apa kata Hayati si Daun Muda ini memang pantas untuk membuatmu rapuh.”
“Apa sudah hilang akal sehatmu untuk tidak berlaku kasar dan sedikit berpikir bahwa, memang andalah yang telah dibutakan oleh harta? Dan hanya karena wanita yang hanya pandai mencemooh ini anda meninggalkan tanggung jawab sebagai seorang suami dan ayah? Dan saya kira jika anda berdua tak berhak menginjakkan kaki di atas tanah orang-orang yang kalian aniaya. Jika saraf malu kalian masih normal saya yakin saat ini juga anda tak berada disini, tapi itupun kalau sarafnya masih nyambung.” Sampai disitu Handoko dan Hayati melangkah dengan menyisakan amarah yang dalam.
“Semua ini karena kamu, jika kamu sendiri merasa sebagai laki-laki normal, menjauhlah dariku, dan sampai kapanpun kita tak akan pernah bersatu.” Tak mampu kupendam perih ini. Tuhan, sampai kapan aku harus bertahan? Sayup aku dengar teriakan Jimmy di luar sana.
“Sampai kapanpun aku akan berjuang untuk mendapatkanmu. Dan dengarkanlah sumpahku warga desa. Aku tak akan pernah meninggalkan kota ini sebelum memperistri Minah.”
Beberapa hari ini aku tidak keluar rumah. Aku hanya mengerjakan sesuatu apa yang bisa aku lakukan di rumah. Karena aku masih segan untuk kembali mendengar komentar para tetangga setelah peristiwa kemarin. Apalagi aku tak ingin melihat Jimmy. Kesadaranku teruji, benarkah Jimmy menyukaiku sebagamana layaknya laki-laki dan perempuan? Apa dia tak melihat perbedaan usia diantara kami dan penampilanku yang tak layak disebut gadis lagi? Apakah benar cinta itu memang gila? Seperti diriku yang dulu harus menentang Emak saat menolak Handoko menikahiku! Atau juga seperti Handoko yang telah bosan hidup susah dan terlalu cinta pada harta sehingga ia meninggalkanku? Aku memang perempuan desa. Miskin, dan tak berpendidikan tinggi sehingga aku tak mengetahui apa yang sebenarnya jadi tujuan kenekatan Jimmy mengejarku. Sejak cintaku di hianati, hatiku masih terlampau jenuh untuk menerima kehadiran laki-laki lain. Aku sanggup memberikan kasih sayang, perhatian, dan cintaku untuk kedua anakku meski dalam hidup serba pas-pasan. Dan aku yakin mereka masih trauma kehilangan orang yang di sayangi.
Jimmy tak surut langkah untuk tetap nekat mengejarku dengan berbagai cara, meski seringkali itu hanya membuahkan kemarahan dariku. Bahkan hingga masanya ia harus kembali ke kota, tugasnya disini telah selesai. Akhirnya aku bisa bernafas, karena selain gangguan dari Jimmy tak ada lagi, Hayati dan Handoko tak berani mengusikku. Akupun menjalani kehidupanku seperti dulu, meski tetap saja masih ada yang suka mengusik kesendirianku, tapi toh itu tak terlalu mengusikku. Justru yang terusik malah Emak.
“ Nduk, kami ndak merasa kesepian to ngurus anak-anakmu sendiri?” Ucap Emak saat aku sedang memberesi dagangan di warung yang kebetulan pembeli telah sepi.
“Kan ada Emak yang akan selalu membantuku merawat cucu-cucu Emak.”
“ Tapi kan Emak tak bisa menemanimu selamanya, nduk. Suatu saat Emak juga akan pergi.” Aku menghentikan aktivitasku sejenak. Tumben Emak bicara serius tentang masa depanku.
“Semua orang tak akan abadi. Dan kita tak pernah tahu kapan tiba saatnya, dan tak ada yang mengetahui secara pasti siapa yang akan dipanggil terlebih dahulu. Dan insya Allah, aku masih sanggup merawat anak-anakku sendiri, apalagi anak-anak tak pernah mengingat ayahnya. Jika aku sanggup melakukannya sendiri kenapa aku harus minta bantuan orang lain?”
“Tapi, anak-anakmu tetaplah butuh kasih sayang dari seorang ayah!”
“Dulu Emak merawatku sendiri tanpa ayah, tapi aku tak merasakan kekurangan kasih sayang.”
“Dulu, ayahmu pergi memang karena dipanggil, dan karena kamu memang sangat menyayangi ayahmu sehingga kamu merasa ayahmu selalu berada didekatmu.”
“Emak kan tahu sendiri, Handoko sekarang sudah punya keluarga?”
“Tapi kamu kan bisa mencari pengggantinya?”
“Maksud Emak?”
“Emak pikir nak Jimmy cukup baik untukmu, dia juga sayang pada anak-anakmu. Dan…”
“Mak, Jimmy masih terlalu muda untuk mengarungi hidup bersamaku.”
“Apa karena usianya saja dia tak berhak mendampingimu?”
“Mak, sudahlah tak perlu membahas tentang sesuatu yang tidak ada. Aku masih sanggup mengurus anakku sendiri.”
“ Tapi Nduk…!”
“Cukup Mak, kita tak perlu membahas tentang ini lagi.” Dengan sedikit emosi aku mengakhiri perbincangan di warung. Orangnya sudah pergi kenapa harus diharapkan lagi. Ops, apa seandainya dia ada disini aku mengharapkannya? Ah, tidak mungkin. Walaupun sebenarnya aku menyukainya, tapi terlalu banyak perbedaan diantara kami. Apalagi kini orangnya sudah tak ada. Jadi untuk apa aku memikirkannya lagi. Tapi apa maksud dari rentetan pertanyaan Emak yang ngotot.
Sore itu saat aku baru pulang dari warung kulihat seseorang di beranda rumah. Handoko? Ada kepentingan apa lagi dia datang ke rumahku? apa dia belum puas dengan semua yang telah dia lakukan padaku.
“Minah, maafkan aku! Aku salah, telah menyia-nyiakanmu dan kedua anak kita, maafkan atas segala kekhilafanku Min?”
“Aku sudah lama memaafkanmu, percuma menyimpan dendam karena tak akan pernah mengembalikan semuanya. Sekarang pulanglah! Aku tak mau terjadi kesalah pahaman lagi diantara kita.”
“Aku sudah meninggalkan Hayati, dan aku ingin kita merajut kembali masa depan kita berdua…”
“Kamu pikir aku wanita apa? Setelah kamu tinggalkan masa paling buruk dalam kehidupanku kamu ingin kembali? Lalu bagaimana dengan Hayati dan anakmu? Ternyata kamu memang laki-laki pengecut yang hanya ingin meraih keuntungan di atas penderitaan orang lain. Aku memaafkanmu bukan berarti aku menerimamu kembali. Sekarang juga aku ingin kamu pergi dari rumahku.”
“Tapi, Min……..”
“Aku mau kamu pergi………”
Tak ada alasan bagiku menerima kehadirannya kembali, aku tak ingin kejadian seperti dulu terulang kembali baik itu padaku ataupun orang lain. Cukuplah aku yang merasakan betapa sakitnya hati ditinggalkan oleh orang yang kita cintai.
“Apa karena pemuda ini kamu menolakku?” Aku terkejut saat menyadari bahwa saat ini Handoko telah bersama Jimmy. Sejak kapan dia disini?
“Tidak hanya karena nak Jimmy, tapi juga Emak yang tak pernah ikhlas anaknya dipermainkan, juga kedua anakmu yang merasa telah damai tanpa kehadiran ayahnya”. Tiba-tiba Emak telah juga hadir bersama kedua anakku.
Beberapa bulan sejak kemudian.
Aku sedang menemui tamuku, tamu spesial. Aku tahu kedatangannya akan membuat kehebohan tersendiri di kampungku. Aku tak peduli karena saat ini dia datang bukan sebagai orang yang mengejarku lagi. Dia datang dengan menyelipkan undangan untukku. Awalnya aku melihat kekecewaan terpancar di wajah Emak. Yah, karena dia memang sangat mengharapkan Jimmy menjadi menantunya. Tapi, aku terlampau bahagia, karena tak akan ada orang yang akan mengganggu hari-hariku dengan berbagai aksinya. Akhirnya aku bisa kembali tenang, walaupun tetap aja masih ada orang yang menggangguku. Dan aku yakin bisa menghadapinya.
Tapi aku masih penasaran. Besok kabar apalagi yang akan tersebar terkait dengan kedatangannya …..Dan aku cukup menunjukkan sebuah undangan pernikahan, Jimmy.
Surabaya, 12/10/2008
(*Noviana Herliyanti, lahir di Batang-batang Sumenep Madura. Alumnus PP. Annuqayah Guluk-guluk Sumenep, saat ini aktif sebagai Anggota Forum Komunikasi Penulis & Penerbit Pesantren (FKP3) Jawa Timur. Beberapa tulisan cerpen dan puisinya telah dimuat di harian Duta Masyarakat, Radar Surabaya, dan Radar Madura.