Anakku

>> Kamis, 30 April 2009

Cerpen: Noviana Herliyanti
Bergiat Di Pondok Budaya Ikon Surabaya

Aku wanita paling beruntung di dunia bisa menikah dengan Mas Iqbal. Ia lelaki yang sangat sempurna di mataku. Kekayaan tak lantas membuatnya congkak pada kenyataan. Keluarganya juga tak pernah mempermasalahkannya tentang statusku.

Mas Iqbal merupakan laki-laki tunggal dikeluarga besarnya, ia anak kesayangan yang menjadi satu-satunya harapan dari keluarga besarnya untuk meneruskan usaha logam yang sukses. Banyak yang iri atas kemujuranku, protes sana protes sinipun tak pernah berhenti mengalun disetiap langkahku. Tapi aku dan Mas Iqbal tak ambil pusing.
Mas Iqbal anak ke 4 dari 5 bersaudara. 3 saudara perempuan Mas Iqbal ikut suaminya. Hanya Mbak Irin yang tinggal bersama keluarga karena kebetulan suaminya bertugas di kota ini. Mertuaku sangat bahagia, karena semua ananknya dikaruniai putera. Dan kebahagiaan itu sempurna apabila ia mendapatkan keturunan dari Mas Iqbal. Harapan mereka juga harapanku pastinya.

Sebagai Nyonya Iqbal, aku menjadi ratu di rumah ini. Semua keluarga menghargaiku. Untuk mengisi waktu kusempatkan merawat bunga yang sengaja di tanam di halaman rumah. Disetiap hari libur, selalu kami isi dengan liburan. Keluarga yang sempurna. Dan kebahagiaan ini tak justru melupakanku pada keluargaku di kampung. Apalagi mertuaku tak mengizinkanku untuk membantu uang belanja. Uang pemberian selalu aku tabung dan sebagian aku kirimkan ke kampung. Meski tak banyak yang aku berikan semoga bisa membantu sedikit kebutuhan keluarga dan biaya sekolah Ning dan Andi, sepupuku.

Kebahagiaan itu sempurnalah sudah setelah kepulanganku dari Dokter Harun yang memvonisku hamil. Mas Iqbal sangat bahagia apalagi keluarga besarnya. Aldi dan Nanda putra Mbak Irin bersorak kegirangan karena ia tahu bahwa dirahimku ada calon temannya yang akan membantu meramaikan suasana. Aku hanya bisa memanjatkan do’a. semoga kebahagiaan dan senyum mereka akan selalu abadi. Amin.

Mama dan Mbak Irin silih berganti menjengukku dikamar, karena kondisiku yang lemah tak memungkinkan untuk sering berkumpul. Kedua keponakanku sering membawakan aku makan siang dengan segudang cerita. Ah, senangnya.

Tak lama kemudian Paman, Bibi, Ning dan Andi mengunjungiku, dengan membawa oleh-oleh hasil kebun di kampung. Keluarga Mas Iqbal menerima dengan tangan terbuka. Kondisi Nenek di kampung tak memungkinkan mereka berlama-lama. Aku hanya bisa minta maaf untuk sementara tak bisa pulang.

“Ndak apa-apa Sum, kamu jaga baik-baik kandunganmu. Biar nanti kalau ada apa-apa tak kasih kabar lagi.” Aku menyelipkan amplop ditangan Bibi.

“Ini hanya sedikit dari Sum, sedikit membantu pengobatan Nenek.” Aku memeluk Bibi erat mohon do’anya selalu. Ia adalah ibu kedua yang selalu membagi kasih sayangnya untukku. Meski berat aku melepaskan mereka pulang.

Hingga kehamilanku yang 3 bulan aku baru punya kesempatan mengunjungi keluargaku di kampung. Karena kondisi Nenek yang bertambah parah terpaksa memaksa Mas Iqbal untuk menginap. 3 hari kemudian ia pulang. Namun aku tak bisa pulang menemaninya. Tak tega rasanya meninggalkan kondisi Nenek yang semakin melemah.
“Tapi kamu harus pulang, Sum?”
“Aku akan pulang tapi nggak sekarang. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Nenekku yang lagi sakit?”.
“Kalau kamu tetap disini bagaimana dengan kondisimu? Siapa yang perhatiin kamu? Disini kan masih ada Bibi dan Paman? Biar aku yang akan nanggung semua biayanya”.
“Astaghfirullah Mas! Yang sakit itu Nenekku! Orang tua yang merawatku sedari kecil! Dan saat ia sekarat aku lantas membiarkannya dengan embel-embel biaya ditanggung. Keterlaluan kamu Mas!”.

“Kalau kamu memaksaku pulang sekarang, aku nggak bisa”. Segera kulangkahkan kaki ke kamar Nenek. Tubuh ringkih itu tergolek lemah. Aku menangis tertahan.
Semua telah terjadi. Aku tak bisa berontak melawan takdir. Akhirnya mungkin saatnya Nenek harus meninggalkanku. Tapi aku bahagia bisa menemaninya di saat-saat terakhirnya. Meski harus kutebus dengan pertengkaran sengit antara aku dan suamiku.
Perutku semakin membesar seiring dengan pergantian bulan. Menurut perkiraan dokter aku akan melahirkan dalam minggu ini. Aku selalu menyempatkan diriku jalan-jalan pagi hari untuk mempermudah proses persalinan.

Pagi ini perutku terasa mulas. Kurasakan penat disekujur tubuhku, perih tak terperi. Tak kupedulikan dokter yang terus memaksaku untuk bertahan. Pandanganku gelap, tiba-tiba seluruh panca indera kurasakan gulita.

Dua hari aku pingsan. Kulihat raut kecemasan terpancar dari wajah Mas Iqbal. Tapi senyum masih melekat di bibirnya.

“Dimana anak kita Mas? Apa dia baik-baik saja?”.
“Dia tak apa-apa hanya butuh perawatan intensif. Kamu harus banyak istirahat. Kondisimu masih lemah”. Dia menyelimutiku. Inginnya aku bertanya tapi bius dokter telah menguasai sarafku.

Rumah bertambah semarak dengan kehadiran bayi mungilku, Iksan. Anakku tak banyak tingkah, bahkan cenderung pendiam untuk anak seusianya. Dia tak terlalu banyak respon atas sekitarnya. Di saat usianya yang menjelang setahun, sulit kuterima kondisinya yang masih belum bisa duduk tegak. Dan betapa hancur hatiku menerima kenyataan ini saat dokter mengatakan bahwa dia menderita penyakit Paralisis total (lumpuh total). Dunia kurasakan runtuh saat itu juga. Kasian anakku.

Aku segera menghapus air mata, saat tangan anakku memecahkan gelas yang ingin diraihnya. Aku merengkuhnya erat, dia memang tak seperti anak-anak lainnya. Tidak lincah, bahkan berdiripun tak bisa ia topang dengan kedua kakinya. Ia akan selalu membutuhkanku.

“Aku tak akan membiarkan anak sial itu tinggal di rumah ini”. Suara Mas Iqbal menggema diseluruh ruangan.
“Tapi dia anak kita, Mas?”
“Dia pasti bukan anakku, kamu pasti telah berselingkuh. Yah saat aku tidak menemanimu waktu Nenek sakit, pasti kau memamfaatkan kesempatan itu”.
“Astaghfirullah Mas, kejam sekali kamu menuduhku demikian!”.
“Satu-satunya jalan adalah menyingkirkan dia dari rumah ini”. Tambah Mas Iqbal sengit.
“Tidak, aku tak akan pernah membiarkannya pergi. Aku yang akan merawatnya, karena dia anakku, darah dagingku”. Aku mengambil Iksan dari tangan Baby Sitter.
“Dia harus tetap pergi, Nak. Demi keutuhan keluarga ini!”. Bujuk Mama.
“Apa? Sebegitu tegakah Mama mengatakan itu padaku. Sedang Mama sendiri adalah seorang Ibu. Aku yakin Mama akan melakukan apa yang aku lakukan seandainya Iksan anak Mama. Aku akan merawatnya. Dan aku tidak peduli lagi pada kebahagiaan keluarga ini, jika semua harus aku tebus dengan keegoisan kalian menyingkirkan Iksan”.
“Jika kamu bersikeras untuk mempertahankannya, maka tinggalkanlah rumah ini”. Putus Mas Iqbal.

“Tak jadi masalah, karena aku juga tak sudi tinggal di rumah anda”.
“Dan sekali kamu keluar dari rumah ini, tak akan ada kesempatan untuk kembali”.
“Iqbal, kamu nggak boleh berkata seperti itu pada istrimu”. Bela Papa
“Nggak papa, Pa. Dia berhak melakukan itu semua”. Isakku lirih. Sejak pertengkaran itu kuputuskan untuk pulang ke kampung.

Sebulan kemudian, Mas Iqbal datang menawarkan perdamaian. Dia akan menceraikanku jika aku tak juga meninggalkan Iksan. Tapi itu semua tak sedikitpun mengusik pertahananku. Bahkan tak kuhiraukan saat ia mengatakan akan menikah lagi.
Kudekap erat Iksan, kucium ubun-ubunnya, mendoakannya semoga suatu saat dia bisa membuktikan pada dunia bahwa perjuanganku mempertahankannya tidak sia-sia. Dia anakku, darah dagingku. Tak ada yang bisa menukarnya dengan apapun. Dia kebanggaanku.

1 komentar:

Posting Komentar

Random Wise Word

Followers

    © Noviana Herliyanti. Friends Forever Template by Emporium Digital 2009

Back to TOP